Indonesia dewasa ini menjadi daerah yang rawan bencana, beberapa waktu lalu Indonesia kembali dirundung bencana mulai dari bencana gempa tsunami Mentawai dan bencana meletusnya gunung Merapi. Bencana tersebut telah menelan korban jiwa yang cukup banyak mencapai ratusan. Bagi warga yang masih selamat harus rela mengungsi, betapa menderitanya kehidupan di pengungsian dengan sarana-prasarana yang terbatas, kebutuhan makanan yang seadanya, hingga beban pikiran yang dialami warga karena mayoritas rumah-rumah mereka rusak akibat bencana tersebut. Hingga sekarang warga sekitar lereng gunung merapi rela meninggalkan rumah-rumah mereka demi mencari keselamatan. Musibah meletusnya gunung Merapi , dan bencana Mentawai dapat menimbulkan beberapa dampak meliputi menurunnya aktivitas perekonomian, dampak psykologis warga yang mengungsi, lingkungan yang rusak, mengganggu peluang penghidupan, pendidikan dan penyelenggaraan pelayanan-pelayanan sosial, menggerogoti tabungan dan menciptakan masalah-masalah kesehatan, seringkali dengan konsekuensi-konsekuensi yang berjangka panjang dapat meningkatkan tingkat kemiskinan.
Bencana Mentawai menimbulkan ratusan korban jiwa baik meninggal maupun luka begitu juga dengan bencana letusan gunung Merapi telah menyebabkan ratusan rumah penduduk di sekitar lereng rusak rata dengan abu akibat adanya awan panas yang turun ke desa-desa di sekitar lereng gunung beberapa waktu yang lalu. Kejadian ini telah merenggut nyawa ratusan orang yang meninggal dunia, sungguh ironis setiap kali ada bencana yang terjadi pasti menimbulkan banyaknya jatuhnya korban jiwa di Indonesia. Dengan menyesuaikan kondisi alam di Indonesia yang kian tidak stabil pemerintah pusat dan daerah harus responsive dan terus mengupayakan tindakan yang komprehensif dan kooperatif dalam penanganan bencana sehingga dapat meminimalisasi jumlah korban yang berjatuhan.
Selain daya tanggap yang cepat dan tindakan pemerintah dalam penanganan bencana diperlukan tingkat kesadaran masyarakat untuk mau diarahkan oleh pemerintah pada saat mensosialisasikan status gunung Merapi. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dalam diarahkan untuk mengungsi pada saat gunung Merapi sudah memasuki fase waspada disebabkan oleh beberapa hal diantaranya karena lebih mementingkan keselamatan hewan ternaknya, takut akan adanya tindak pencurian pada saat rumah ditinggalkan, baru mau mengungsi apabila sudah terlihat kejadian meletusnya gunung Merapi.
Warga masih banyak berlalu lalang di daerah yang rawan bencana Merapi hal ini dapat berakibat fatal membahayakan jiwa mereka sendiri. Sehingga letusan gunung Merapi kali ini telah merenggut nyawa beberapa warga. Kesadaran masyarakat yang rendah dan tidak peduli dengan bahayanya erupsi gunung merapi yang sewaktu-waktu dapat terjadi disebabkan karena mereka menggangap hewan ternak mereka adalah harta yang paling berharga di tengah himpitan perekonomian saat ini. Sungguh disayangkan warga tidak peduli dengan nyawanya dalam kondisi rawan dengan kematian hanya karena takut kehilangan seekor sapi. Pemerintah daerah seharusnya menjadi front line untuk membangun kesadaran rawan bencana terhadap warga, termasuk sistem penanggulangannya. Pemerintah daerah seharusnya bisa melakukan sosialisasi secara optimal akan bahaya awan panas yang setiap waktu dapat meluncur ke pemukiman warga di kawasan lereng Merapi, juga bertindak tegas dengan memberikan teguran terhadap warga yang akan nekad pergi kedaerah rawan bencana Merapi.
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mampu menjamin rasa kekhawatiran warga yang enggan mengungsi karena lebih mementingkan keselamatan hewan ternak dengan mengganti rugi secara finansial hewan ternak yang mati pada saat bencana Merapi dengan harga yang pantas, juga perlunya koordinasi yang intensif dengan aparat militer untuk menjamin keamanan harta benda para pengungsi. Kemudian untuk penanganan bencana Mentawai pemerintah dinilai kurang tanggap, betapa tidak penanganan bencana Merapi dengan Mentawai jauh berbeda. Banyaknya relawan, bantuan sandang pangan sangat terfokus pada bencana Merapi sehingga penanganan bencana Mentawai terabaikan dan kurang adanya mitigasi bencana yang baik. Mitigasi adalah segala bentuk langkah struktural (fisik) atau nonstruktural yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak merugikan dari kejadian-kejadian bahaya alam yang potensial timbul. Kondisi pasca bencana, di Mentawai masih terlihat porak poranda para relawan sudah bergegas untuk pulang, kondisi geografis, dan cuaca yang tidak pasti membuat bantuan juga sulit untuk disalurkan. Sehingga para korban bencana Mentawai menjadi semakin terlantar.
Berbagai bahaya alam dapat mengancam kehidupan dan pembangunan di Indonesia. Dengan memahami kejadian bencana alam yang telah terjadi dan mengantisipasi kejadian-kejadian bahaya di masa mendatang, masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan dapat mengurangi risiko bencana. Kegagalan dalam memahami dan mengantisipasi bahaya dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi program-program dan proyek-proyek pembangunan. Namun, para perencana pembangunan seringkali tidak mempertimbangkan bahaya alam dengan memadai, dan manajemen risiko bencana . Oleh sebab itu masyarakat dan pemerintah juga harus sadar, memahami akan tanda-tanda bahaya alam, Informasi tentang kecepatan mulainya sebuah kejadian bahaya sangat penting untuk kesiapsiagaan terhadap bencana dan sistem peringatan dini, dan juga dapat bermanfaat untuk keperluan perencanaan. Bahaya adalah gejala yang tidak statis dan keterpaparan terhadap risiko bahaya akan berubah seiring dengan waktu. Oleh karena itu, kita harus memahami perubahan-perubahan risiko bahaya di masa yang akan datang dalam kurun waktu tertentu, sehingga pengkajian tentang bahaya lebih bersifat “kemungkinan” daripada pengkajian tentang bahaya “normatif” yang didasarkan pada kondisi-kondisi saat ini. Hal ini terutama berlaku pada perubahan iklim, yang dapat menimbulkan akibat yang besar pada pola-pola dan kecenderungan bahaya dan bencana-bencana alam. ( Charlotte Benson et all,2007 )
Peran dari pemerintah juga sangat diperlukan selain sebagai pembuat kebijakan untuk ikut menghimbau masyarakat agar menjaga dan melestarikan alam. Alam tidak akan rusak dan mengakibatkan berbagai bencana alam jika ulah tangan manusia yang terlalu overload dalam menggali kekayaan berasal dari alam sehingga tindakan-tindakan yang liar misal illegal logging perlu ditindak tegas, dan pemerintah juga harus benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan dengan baik program penanaman pohon di wilayah-wilayah yang kini hutannya sudah rusak.
Manajemen Penanganan Bencana
Menurut Bank Dunia, kerugian akibat bencana yang diderita negara-negara berkembang, jika dihitung sebagai persentase dari produk domestik bruto, dapat mencapai 20 kali lebih besar daripada kerugian yang dialami oleh negara-negara industri, sementara lebih dari 95 persen kematian yang diakibatkan oleh bencana terjadi di negara berkembang. Kian lama kian disadari bahwa bencana memang merupakan ancaman yang serius bagi pembangunan berkelanjutan, upaya penanggulangan kemiskinan. Perubahan dari cara pandang lama yang telah mengakar bahwa bencana adalah sesuatu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, tak terhindarkan dan harus ditangani oleh para ahli tanggap darurat, sedikit banyak mencerminkan meningkatnya pemahaman akan bencana sebagai masalah pembangunan yang masih harus diatasi. ( Charlotte Benson et all,2007 )
Banyaknya jumlah korban bencana Merapi dan Mentawai sebenarnya bisa diminimalisasi jika manajemen penanganan bencana di Indonesia baik. Banyaknya korban yang meninggal pada saat terjadi bencana diindikasikan terjadi karena manajemen penanganan bencana yang amburadul, contohnya pada waktu gunung Merapi sudah memasuki fase waspada fasilitas pengungsian belum dipersiapkan dengan baik di beberapa lokasi yang akan menjadi tempat pengungsian, pemerintah akan bergerak jika bencana tersebut sudah benar-benar terjadi atau gunung merapi sudah meletus. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga pernah mengkritik lambatnya penanganan korban bencana disebabkan pemerintah tidak serius melakukan perubahan manajemen penanganan bencana alam. Kesimpulan BPK, kinerja pemerintah di dalam penanganan bencana alam cenderung amburadul alias tidak ada sistem yang baku. (www.kabarindonesia.com)
Seiring bergulirnya reformasi, birokrasi dituntut lebih responsif kepada masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya. Birokrasi reformasi adalah birokrasi yang melayani, birokrasi yang mengabdi kepada kepentingan orang banyak. Menjadi sangat tidak masuk akal ketika birokrasi justru kalah dalam memberikan pelayanan bermutu kepada masyarakat. Apalagi rakyat yang tengah menderita kesusahan karena bencana alam. Lambannya birokrasi dalam penanganan bencana disebabkan oleh beberapa hal, pertama, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 yang mengatur mengenai penanganan bencana. Peraturan itu cenderung sentralistis karena di dalamnya tidak mengatur peran serta masyarakat. Hal ini memaksa gubernur, bupati, camat, hingga lurah untuk memimpin penanganan bencana yang belum tentu seluk beluknya mereka kuasai. Dengan ketentuan itu, penanganan bencana diserahkan kepada aparat birokrasi yang bisa jadi sama sekali tidak mengetahui prosedur penanganan bencana. Padahal, semua orang tahu, ketika bencana alam terjadi yang bergerak adalah masyarakat. Dengan kearifan dan solidaritasnya sendiri mereka bahu-membahu mengangkat korban, memasang tenda, membuat nasi bungkus juga dengan modal sendiri. Ketika pemerintah belum bergerak, justru peran masyarakatlah yang mengedepan.(www.kabarindonesia.com)
Kedua, birokrasi dinilai gagal belajar dari pengalaman. Bencana ini bisa menjadi cermin terang atau buram atas solidaritas dan pelayanan negara kepada rakyatnya yang tertimpa musibah. Di tengah situasi yang serba sulit dan keadaan yang amat susah, mereka menuntut uluran tangan negara. Kelompok birokrasi gagal berposisi di tengah sebagai perantara antara kepentingan umum dan kepentingan khusus. Tugas utama birokrasi adalah mengendalikan dan serta memberdayakan masyarakat. Termasuk dalam keadaan bencana. Dengan demikian birokrasi yang kerap dimaknai sebagai master atau bos yang selalu minta dilayani bisa dikembangkan sebagai agen pemerintah yang bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah pelayan. Dalam bahasa Inggris, dikenal public servant yang artinya mengedepankan pelayanan, pengabdian kepada masyarakat. Bukan justru minta dilayani dan diabdi oleh masyarakat. Menjadi ironis memang, citra birokrasi demikian buruknya di lokasi bencana alam. Keterlibatan negara dalam menangani kesulitan rakyat yang terkena musibah, menunjukkan kecepatan dan akurasi mereka bertindak menangani masalah. Sayangnya di negara kita ini, akurasi pelayanan publik dalam membantu kesulitan rakyat justru sering berhadapan dengan permasalahan birokrasi yang tidak saja makin rumit, bahkan tidak jarang memeras. .(www.kabarindonesia.com)
Pemerintah seharusnya bertindak lebih optimal dalam mencegah dan menangani bencana-bencana yang terjadi di Indonesia. Pemerintah pusat maupun daerah perlu belajar dari pengalaman yang lalu pada saat bencana sebelumnya melanda Indonesia, sehingga perencanaan dan koordinasi pada saat penanganan bencana sudah dipersiapkan dengan matang. Pemerintah juga harus memadukan strategi dan program-program pengurangan risiko bencana ke dalam keseluruhan kerangka pembangunan, dengan melihat pengurangan risiko bencana sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan. Kerentanan terhadap bahaya alam juga harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, Kerentanan adalah potensi untuk tertimpa kerusakan atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi suatu bahaya, mengatasi bahaya, mencegah bahaya dan memulihkan diri dari dampak bahaya kemudian kerentanan terhadap bahaya alam adalah sesuatu yang kompleks dan memiliki berbagai aspek, yang membutuhkan analisis serta solusi yang berperspektif lingkungan hidup, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknis dan oleh karenanya dibutuhkan alat-alat yang sesuai untuk mencapai ini. ( Charlotte Benson et all,2007 )
Pemerintah harus membuat kebijakan dimana adanya larangan mendirikan pemukiman di daerah-daerah yang rawan bencana begitu pula dengan masyarakat harus sadar dan tidak asal membangun hunian tanpa mempertimbangkan tingkat kerentanan terhadap bahaya alam. Hal ini dimungkinkan bisa meminimalisasi jatuhnya korban jiwa jika terjadi bencana alam. Pemerintah perlu menekankan optimalisasi manajemen penanganan bencana yang baik dan terencana, juga perlunya mempertimbangkan manajemen resiko bencana terhadap segala kebijakan yang diambil sehingga pencegahan maupun penanganan bencana bisa lebih baik. Kebijakan penanganan bencana yang tidak mempertimbangkan tingkat kerentanan dapat berakibat fatal. Misalnya letusan Merapi yang terjadi pada hari jumat tanggal 4 November 2010 dini hari yang lalu sebelumnya pemerintah memutuskan pengungsi berada pada 15km dari puncak gunung merapi akan tetapi letusan pada malam itu membuat awan panas meluncur hingga pada radius 16km, hal ini menyebabkan banyaknya korban yang berjatuhan, rumah warga dan fasilitas pengungsian juga rusak. Pemerintah seharusnya benar-benar jeli dan mempertimbangkan dalam memutuskan kebijakan penanganan bencana sesuai dengan tingkat kerentanan bencana. Penanganan bencana yang tidak dipersiapkan dengan baik, kondisi penanganan akan lebih buruk lagi jika ada bencana yang datang kembali sehingga wargalah yang paling merasakan buruknya pelayanan pada saat penanganan bencana.
Untuk mengoptimalisasi manajemen penanganan bencana yang baik perlu dikerahkan seluruh SDM yang ada seperti pejabat, aparat militer, anggota SAR, tim medis dan stakeholder lainnya untuk membantu penanganan korban bencana. Mereka harus bekerja sama mengkoordinasi dalam menyelamatkan korban, dan mendistribusikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan di lokasi pengungsian. Selain factor SDM perlunya peningkatan anggaran yang dialokasikan untuk penanganan bencana, terbatasnya dana juga menjadi kendala dalam memberikan pelayanan penanganan bagi para korban bencana.
Responsivitas pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap keluhan korban bencana juga harus ditingkatkan dan segera ditindak lanjuti. Kemudian dari segi Akuntabilitas yang terpenting adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu lebih bertanggung jawab atas hilangnya jiwa manusia serta kerugian-kerugian fisik dan ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana. Bagaimanapun juga, manajerial penanganan bencana penting untuk mengurangi dampak langsung maupun tak langsung dari terjadinya bencana. Untuk kedepannya pemerintah pusat maupun daerah lebih dituntut untuk melakukan tanggap bencana yang lebih strategis, cepat dan mendorong pengintegrasian upaya-upaya pencegahan dan peredaman bencana. Perbaikan kerusakan infrastruktur, serta rehabilitasi, dan penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan pascabencana juga menjadi PR pemerintah Indonesia saat ini.
Adanya bencana Merapi dan Mentawai membuat aktivitas perekonomian warga di wilayah tersebut lumpuh, banyaknya tanaman yang rusak, hewan ternak yang mati , sarana prasarana publik yang rusak, banyaknya rumah yang hancur dan rata , harta benda juga hilang. Hal ini tentunya dapat berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, Sehingga pemerintah harus bersiap selain dalam mengoptimalisasi manajemen penanganan bencana juga harus tanggap dalam pemulihan pasca bencana nanti terutama dalam menanggulangi tingkat kemiskinan akibat bencana Merapi dan Mentawai. Untuk menanggulangi tingkat kemiskinan pemerintah seharusnya membuat suatu program bantuan social yang khusus ditujukan bagi para korban bencana Merapi dan Mentawai, program bantuan sosial untuk korban bencana Merapi dan Mentawai merupakan upaya perlindungan dan penyelamatan manusia sebagai sumber daya pembangunan dari risiko bencana tersebut. Program bantuan social dapat berupa mengganti kerugian kepada warga yang diakibatkan oleh bencana merapi meliputi bantuan perbaikan rumah warga yang rusak, bantuan dana untuk hewan ternak yang mati, bantuan dana untuk Usaha Kecil, Mikro dan Menengah, bantuan tahap resosialisasi dan rujukan untuk pemberdayaan korban bencana.
Bantuan kemanusiaan, rehabilitasi dan rekonstruksi adalah segala bentuk kegiatan yang dilaksanakan setelah terjadinya bencana untuk, secara berurut, menyelamatkan nyawa manusia dan memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak, memulihkan kegiatan normal dan memulihkan infrastruktur fisik serta pelayanan masyarakat. Upaya tersebut harus dilakukan pemerintah dalam kehidupan sosial ekonomi penduduk korban bencana Merapi dan Mentawai untuk ditujukan memulihkan dan mengembalikan kerugian harta benda, kerusakan infrastruktur, sarana sosial. Program tersebut salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat agar mampu menumbukan sikap dan tekad kemandirian. Setidaknya dengan upaya-upaya tersebut dapat meminimalisasi duka, lara warga serta lumpuhnya perekonomian akibat bencana gunung Merapi. Dalam mengimplementasikan program-program penanggulangan bencana alam pemerintah harus mengupayakan manajemen pelaksanaan program dengan baik. Perencanaan, koordinasi, monitoring yang baik di tingkat pusat maupun daerah dan penerapan prinsip-prinsip good governance merupakan hal yang bersifat urgen dalam pelaksanaan program agar dapat tercapai sasaran dan tujuannya.
Selain itu untuk mengatasi dampak psikis yang dihadapi para korban bencana merapi terutama pada anak-anak, pemerintah juga harus berupaya untuk memulihkan kondisi jiwa mereka dengan membuat kebijakan mendelegasikan tugas kepada para psikolog , relawan untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan mereka. Selain kerugian secara fisik kondisi kejiwaan para korban bencana juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Terutama bagi anak-anak yang merupakan tunas bangsa Indonesia. Dengan menilik kejadian bencana Merapi dan Mentawai semoga bisa membuat para pemimpin di Indonesia dapat lebih baik dalam menetapkan suatu kebijakan dan meningkatkan pelayanan penanganan bencana dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman terdahulu, karena dengan belajar dari pengalaman dapat memperbaiki kekurangan – kekurangan yang terjadi pada waktu lalu, untuk mewujudkan kesigapan penanganan bencana yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment