Aris Widyatmoko. Usia 19 tahun. Seharian menolong pengungsi, Kamis petang 4 November 2010 itu, dia terlihat lelah. Ribuan pengungsi itu lari dari kampung-kampung di Kinahrejo, Cangkringan. Dihalau wedhus gembel yang dimuntahkan perut Merapi. Aries memang dari Cangkringan, tapi kampungnya belum disergap awan panas. Pada erupsi pertama, Selasa 26 Oktober 2010 itu, petaka hanya sampai di kilometer 10 dari pucuk Merapi. Di luar radius itu masih aman. Dan Aris, seperti halnya sejumlah anak muda dari dusunnya, ramai-ramai menjadi relawan. Menolong para pengungsi. Mengangkut barang.
Badan letih. Keringat. Dan kotor. Aries lalu pamit mandi pada ibunya, Rahayu. Sang Ibu juga ikut membantu di pengungsian. Rencananya, sesudah mandi dia meluncur ke Dusun Glagah Mayang. Di situ logistik untuk pengungsi ditumpuk.
Glagah Mayang, dua kilometer dari pengungsian. Ke arah pucuk Merapi.
Dipamiti sang anak, Rahayu yang juga terlihat lelah sontak menyodorkan uang. Dua lembar sepuluh ribu. Uang itu sudah lecek dan kumal. “Untuk beli rokok dengan teman-temanmu,” kata sang Ibu. Sebelum melaju, Rahayu mengingatkan sang anak agar hati-hati, “ Kalau ada apa-apa cepat turun.”
Aries girang. Ini pertama kalinya, sang Ibu merelakan sangu (uang) membeli rokok. Rahayu memang super ketat. Melarang keras sang anak mengepulkan asap. Aries lalu meluncur. Motor melaju di keheningan malam. Melewati rerimbunan pohon bambu. Gelap.
Di rumah dia bertemu sang ayah, Sriyono. Sesudah mandi dia pamit. Seperti sang Ibu, ayahnya juga berpesan agar hati-hati. Dan, jangan lupa makan. Dalam kegelapan malam, Aries kembali memacu motor. Melaju ke Glagah Mayang. Sang ayah ke pengungsian.
Beberapa jam kemudian sirene di pengungsian berpekik meraung. Wajah-wajah cemas. Raung Sirene itu sahut menyahut dengan perintah mengungsi dari pengeras suara.
Jumat dini hari 5 November itu, Merapi kembali mengamuk. Awan panas menusuk langit setinggi 8 kilometer. Membuhul, bergulung-gulung seperti susunan kulit domba. Lalu menghempas ke kampung-kampung, dusun dan desa, dalam radius belasan kilometer. Sejumlah ahli gempa menghitung bahwa dini hari itu, sekitar 100 juta meter kubik material meluncur dari perut Merapi.
Muntah sebanyak itu, Merapi mencatat rekor terbaru. Terdasyat selama 100 tahun belakangan. Horor juga berlipat kali. Warga harus menjauh. Radius aman di luar 20 kilometer dari pucuk petaka. Dan posko pengungsian itu dalam radius bahaya. Cuma belasan kilometer dari mulut Merapi.
Dalam suasana mencekam, Sriyono dan Rahayu membangunkan ibu-ibu tua yang sudah terlelap. Banyak yang bertanya ada apa gerangan. Dalam kegentingan itu, sedetik waktu berarti nyawa. Terlambat bergerak matilah sudah.
Rahayu mengabaikan semua pertanyaan. Terus berpekik agar warga bergegas. "Saya suruh pengungsi naik motor dan truk mencari tempat yang lebih aman," katanya. Jalanan gelap. Listrik mati. Cuma diterangi lampu motor dan mobil yang berebut melaju.
Sudah separuh perjalanan, barulah Rahayu teringat anaknya, Arief Widyatmoko. Markas logistik yang dijaga sang anak itu jelas masuk radius super bahaya. Sembari menghela pengungsi, berkali-kali dia menelpon. Tak bersahut. Nada masuk pun tidak. Rahayu cemas alang kepalang.
Sang ayah berusaha balik arah. Tapi itu seperti memacu motor menuju “kematian”. Baru puluhan meter melaju, suara gemuruh terdengar kencang. Cuma beberapa depa di depan Sriyono, api melahap pohon-pohon bambu. Sriyono balik kanan. Menjauh dari kenggerian itu. Kepanikan merasuki puluhan ribu orang. Awan panas sudah mengalir di Sungai Gendol, yang tak berapa jauh dari pengungsian.
Kengerian dan haru biru itu ditonton berjuta mata dari seluruh negeri. Sejumlah stasiun televisi yang menggelar siaran langsung, memperlihatkan betapa kematian tidak saja dekat , tapi juga mengejar. Orang-orang tiba di Yogyakarta dengan debu tebal menempel baju, jaket, hidung, dan kepala. Juga menutup mobil, menutup lampu, yang membuat jalanan gelap gulita.
Bergegas dalam kegelapan itulah yang menyebabkan satu keluarga tewas. Mereka salah arah. Mestinya ke Yogyakarta, malah menghampiri Merapi.
Menghampiri kematian.
Rahayu yang membantu para pengungsi menuju Yogyakarta, terus menelepon sang anak. Tapi sama sekali tak bersahut. Di lokasi pengungsian yang baru, dia akhirnya tahu bahwa Glagah Mayang sudah tertimbun awan panas. Rahayu meraung menangis. Bersama suaminya, dia bergegas ke sejumlah lokasi pengungsian lain. Berharap sang anak masih hidup. Berkali-kali pula mendatangi Rumah Sakit Sardjito, tempat korban tewas dan luka dirawat.
Empat hari ke sana-ke mari hasilnya sia-sia belaka.
Dan berita duka itu datang Senin pagi, 8 November 2010. Tim SAR menemukan Aries dalam kondisi terpanggang. Jenazah diangkut ke Sardjito. Rayahu histeris melihat kantong mayat itu.”Maafkan Ibu nak,”dia berseru berkali-kali, sembari berlutut memandang kantong itu.
Adalah Rahayu yang mewariskan darah relawan kepada Aries. Ibu berusia 50 tahun ini sudah lama bergabung dalam Taruna Siaga Bencana (Tagana). Rahayu memang sempat ragu ketika sang anak bergabung dalam Tagana. Belakangan dia bangga sebab Aries terlihat tekun. Senang. Iklhas menolong pengungsi.
Saat erupsi pertama, 26 Oktober 2010, Aris membantu ibunya mengevakuasi warga di sekitar Merapi. Juga ikut mengumpulkan obat dan makanan. “Padahal anak itu suka susah dikasih tau orang tua,”kenang Rahayu kepada VIVANews.com.
Lelucon terakhir Supriyadi
Kamis pagi 4 November 2010. Posko logistik Dusun Glagah Malang, jadi riuh. Dan itu karena Supriyadi. Entah kenapa, pemuda 29 tahun itu memakai pakaian perempuan. Lalu berlenggak-lenggok menuju dapur umum.
Orang-orang tertawa terbahak-bahak melihat aksi kocak ini. Supriyadi adalah lelaki tulen luar dalam. Tapi di posko itu dia membaktikan diri di dapur. Memasak nasi, sayur dan lauk pauk. Di garis depan itu, wanita memang jarang. Kepada teman-temannya, Supriyadi bergurau bahwa busana wanita, juga aksi lenggak-lenggok itu dilakukan agar masakannya bisa maknyus seperti olahan kaum hawa.
“Ternyata itu lelucon terakhir,” kata Hadi B, rekan Supriyadi yang ditemui VIVANews.com di Rumah Sakit Sardjito. Saat Merapi menebar abu kematian Jumat dini hari itu, Supriyadi dan sejumlah kawannya terjebak dalam barak. Tak sempat menyelamatkan diri . Sebab awan panas menyapu cepat.
Supriyadi lahir di Kulonprogo, Yogyakarta. Dia sudah bergabung dengan Tagana semenjak tahun 2004. Orangtuanya, Samudji dan Tumirah, merantau ke Riau. Bekerja sebagai petani kelapa sawit. Dari hasil sawit itulah mereka menyekolahkan sang anak hingga perguruan tinggi.
Ketika Merapi meletus, Supriyadi sedang menyusun skripsi. Dia kuliah di Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) di Yogyakarta. Jika maut tidak menjemput, tak lama lagi dia wisuda. Lewat seorang paman bernama, Slamet, kematian itu dikabarkan ke Riau.
Tanggal 9 November Samudji tiba di Yogyakarta. Langsung menuju kamar forensik. Demi melihat jenazah itu, Samudji bercucur air mata. Dia memastikan, jenazah dalam kantong itu adalah anaknya.”Dari ciri-cirinya itu benar putra saya. Mau bagaimana lagi. Saya rela,”ujar sang ayah sembari mengusap air mata. Kandas sudah harapan Samudji. Harapan agar si sulung itu menjadi sarjana.
Berakhir di kampung sendiri
Jupri sudah mengungsikan keluarganya sesudah erupsi pertama, 26 Oktober 2010. Lama menjadi relawan, naluri waspadanya selalu menyala. Semua keluarga diungsi ke Barak Balai Desa Banjarsari, Cangkringan, Sleman. "Jangan tinggal di rumah dulu, tinggal di pengungsian. Biar gampang jika sewaktu-waktu Merapi meletus lagi," begitu pesan Jupri kepada adiknya yang bernama Dwi Prasetyo.
Kamis sore, 4 November 2010 itu tidak ada tanda-tanda Merapi mengamuk lagi. Jupri pamit pada keluarga. Dia hendak berangkat ke posko logistik, yang jauhnya 2 kilometer dari pengungsian. Ke arah Merapi. "Saya titip keluarga. Ingat kamu harus berjaga. Kalau ada apa-apa cepat lari ke bawah," kata Jupri kepada Dwi. Dia lalu menyapa satu persatu. Rini, sang istri, anak dan kedua orang tuanya.
Jupriyanto, begitu nama lengkapnya, sudah semenjak tahun 2004 masuk Tagana. Berbakti menjadi relawan. Lelaki 35 tahun itu sudah melalangbuana dari satu petaka-ke petaka yang lain.
Dia pernah berkubang mencari korban ketika tsunami menghempas Panggandaran beberapa tahun lampu, jumpalitan menyelamatkan orang dalam gempa Bantul dan mencari jenazah pada sejumlah wilayah yang dihempas banjir. “Menyelamatkan nyawa orang wajib hukumnya. Tanpa peduli apapun agama dan suku. Itu yang selalu kakak saya katakan ketika keluarga cemas atas profesinya itu," ujar Dwi.
Meski sering merelakan sang suami ke daerah bencana, sore itu Rini ragu melepas sang suami. Apalagi posko itu dekat ke Merapi. "Kamu hati-hari mas, aku dan Fauzi (anaknya) serta bapak dan ibu khawatir," kata Dwi mengulang pesan Rini.
Jupri cuma tersenyum. Dia berusaha menenangkan sang istri. “Aku pasti kembali," katanya. Sebelum menyalakan motor dia mencium kening sang istri. Kening anaknya. Mencium tangan kedua orangtuanya, sang ayah Trantowiyonom yang berusia 60 tahun dan Lanjariah, 55 tahun.
Jumat dini hari itu, suasana di pengungsian panik alang kepalang. Suara sirine dan perintah mengungsi bergema. Keluarga Jupri panik. "Saya disuruh bapak jemput Jupri tapi suasana sudah mencekam. Desa sudah terbakar,” kisah Dwi kepada VIVANews sambil meneteskan air mata.
Dalam suasana haru-biru menyelamatkan diri, Dwi mencoba menghubungi sang kakak. Gagal. Telepon seluler Jupri sudah tak hidup. Setelah tiba di posko pengungsian yang baru, keluarga terus mencari Jupri. Bertanya kepada Tim SAR, teman-temannya di Tagana, dan berkali-kali datang ke Sardjito. Nihil. Mereka berharap Jupri selamat.
Tapi pagi Senin, 8 November 2010, kabar duka itu datang dari Tim SAR. Mayat Jupri ditemukan terpanggang di barak logistik Glagah Malang, Cangkringan. "Saya, ibu dan keluarga ikhlas. Ini suratan Tuhan,” tutup Dwi. Setelah bertaruh nyawa dari satu petaka ke petaka yang lain, Jupri berakhir di kampung halamannya.
No comments:
Post a Comment