Suasana mencekam tatkala tim relawan memasuki Desa Argomulyo, Cangkringan, Yogyakarta, Jumat pagi, 5 November 2010. Bau belerang merambati udara. Asap masih mengepul dari rumah-rumah yang terbakar.
Suasana senyap. Tak ada kehidupan di sana. Di jalan desa berselimut abu, teronggok sepeda motor. Rusak parah. Di sebelahnya, sesosok jenazah terkapar. Pada sebuah rumah berselimut abu, tiga jasad lain ditemukan tergolek di tempat tidur: ayah, ibu, dan anaknya.
Tak semua dusun bisa ditembus saat itu. Hawa panas jadi penghalang. “Pohon dan rumah-rumah semipermanen terbakar di pinggir Kali Gendol,” kata Komandan Tim SAR Merapi, Suseno.
Tim pun berpacu dengan wedhus gembel, awan panas yang menyembur dari kawah Merapi. Siang itu tadi pencarian terpaksa dihentikan. Ada kabar awan panas meluncur lagi. “Terpaksa korban ditinggalkan, kami merapat ke pos, dan kembali lagi saat kondisi aman.”
Prioritas tim evakuasi tak hanya menemukan jasad tak bernyawa. Prioritas utama menyelamatkan warga yang belum sempat dievakuasi atau ngeyel tak mau mengungsi.
Di Dusun Kiara, Cangkringan, misalnya, ada seorang ibu mengunci diri di dalam kamar. Dia menolak diungsikan. "Akhirnya kami pakai cara paksa," kata Iman Surahman, relawan Dompet Dhuafa, kepada VIVAnews.
Meski jaraknya lumayan jauh dari puncak, 18 kilometer, Argomulyo termasuk desa yang terparah. Letaknya di tepi Sungai Gendol jadi sumber malapetaka. Sebab, ke sana lah awan panas mengalir.
"Wedhus gembel datang tiba-tiba," cerita Joko Supriyanto, warga Wonokerso, Argomulyo, Cangkringan, Sleman.
Pemuda 20 tahun itu masih ingat, perintah mengungsi datang pada pukul 23.00 WIB. Dia lalu mengantar anggota keluarganya ke lokasi pengungsian, sekaligus mencari mobil evakuasi untuk kakeknya yang menderita
Beberapa saat kemudian, dia kembali ke kampung.
Tapi sekitar pukul 00.30 WIB, awan panas menghadang. Kata Joko, bentuk awan itu putih pekat. Di gumpalan awan, ada bercak-bercak berpijar merah.
Mengikuti nalurinya untuk hidup, Joko meninggalkan motornya dan terjun ke got. Ia bersembunyi di kolong buk --jembatan kecil di kampung. Motornya hangus. Tapi dia selamat.
Ketika pulang ke rumah neneknya, Joko menemukan sang nenek tergeletak tewas di depan rumah. Tubuh perempuan tua itu hangus. Beruntyung kakeknya selamat, meski mengalami luka bakar.
Letusan yang tak biasa
Sejak awal, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mewanti-wanti, letusan Merapi bisa bersifat eksplosif. Letusan dahsyat semalam membuktikan, prediksi ini benar.
"Ini adalah skenario ketiga yang tidak saya sukai. Ini dapat membuat eksplosif menjadi besar karena yang mendorong sekarang adalah magma paling dalam," kata Kepala PVMBG, Dr Surono, Jumat 5 November 2010 dini hari.
Itu sebabnya, Pusat Vulkanologi itu mengeluarkan imbauan agar pengungsi mundur dari titik maksimum batas bahaya 20 kilometer.
Soal magma yang menggelegak di dasar Merapi itu dibenarkan oleh para geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Earth Observatory of
Dalam sebuah diskusi, mereka menyimpulkan, letusan Merapi saat ini berbeda dengan letusan sebelumnya sejak 1870-an. Dulu, dia berasal dari magma dangkal, dengan kedalaman sekitar 2 kilometer. "Sekarang tipe eksplosif karena kelihatannya berasal dari magma yang sangat dalam, 6 sampai 10 kilometer," demikian informasi yang diperoleh VIVAnews, Jumat, 5 November 2010.
Situasi Merapi kian sulit diterka. Soalnya, peralatan yang masih bekerja hanya seismometer. Sementara, alat monitoring deformasi (EDM dan tilt meter), pencatat gas, dan alat monitoring visual, rusak. Akibatnya, tak ada data cukup untuk menjawab apakah letusan Merapi bakal lebih besar atau tidak.
Para geolog pun was-was. Mereka tak bisa mengira berapa besar kantung magma-dalam, dan berapa besar feeding dari bawah, atau mantel Merapi. Meski begitu, ada cara lain yang bisa membantu memprediksi letusan selanjutnya. Para ahli akan melihat komposisi kimia dari bahan-bahan yang dimuntahkan.
Sejak awal, Merapi memang tak biasa. Proses menuju erupsi terhitung sangat cepat. Data PVMBG mencatat, perubahan status dari Normal menjadi Waspada terjadi pada 20 September 2010. Sebulan kemudian, pada 21 Oktober 2010, ia meningkat menjadi menjadi Siaga. Lalu menjadi Awas – level tertinggi?empat hari kemudian pada 25 Oktober 2010, hanya sehari sebelum Merapi muntab.
Letusan yang menular?
Merapi bukan yang pertama. Dua bulan sebelumnya, Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Barat, meletus pada Minggu 29 Agustus 2010. Mengagetkan, karena sudah lebih dari 400 tahun gunung itu tidur panjang.
Kini, di saat Merapi bergolak, sejumlah gunung berapi malah ikut menggeliat. Dua gunung berstatus Siaga, Gunung Ibu dan Karangetang. Sementara 21 lainnya dinyatakan waspada, dua di antaranya – adalah Anak Krakatau dan Semeru.
Anak Krakatau penting diperhatikan, karena letaknya tak jauh dari Jakarta. Pada 1883, letusan Krakatau menciptakan getaran yang menghancurkan sebagian Batavia. Saat ini memang aktivitas Anak Krakatau sedang tinggi-tingginya. Sudah tiga pekan ini, Anak Krakatau terus menyemburkan magma dan abu.
Sementara, Semeru sudah menyemburkan awan panas. Ini pertama sejak 2008 silam. Tapi geliat Semeru belum begitu berbahaya. Pemukiman warga jauhnya sekitar 11 kilometer dari puncak Semeru.
Sempat beredar spekulasi, letusan Merapi memicu reaksi berantasi erupsi di gunung api lainnya. Dalil itu terbantahkan. Ed Venzke dari Smithsonian Institution's Global Volcanism Program di Washington mengatakan, meski jarak satu sama lain dekat, sistem vulkanik secara umum saling terisolasi satu-sama lain.
"Tak ada bukti sahih yang menyatakan aktivitas Merapi pada gunung lainnya," kata dia, seperti dimuat LiveScience, 2 November 2010.
Salah satu pembanding, ketika gunung berapi Eyjafjallajokull di Islandia meletus, gunung itu tidak memicu letusan Krafla, gunung berapi tetangga yang lebih besar. Padahal di masa lalu, keduanya pernah berdentum bareng.
Sementara, Kepala Sub Bidang Pengamatan Gunung Api PVMBG Agus Budianto mengatakan naiknya aktivitas vulkanik sejumlah gunung berapi ini bisa dijelaskan sederhana. “Itu hal wajar. Posisi Indonesia sangat dinamis sekali, tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia. Itulah bumi kita,” kata dia.
Tiap tahun, memang biasa ada kejadian letusan. “Gunung Batutara di utara Lembata itu meletus terus, tapi itu normal. Itu memang kelakuan dia, letusan kecil-kecil tapi intensitasnya rendah,” kata dia. Sejumlah gunung juga rajin ‘batuk’. Misalnya, Gunung Bukono di Halmahera Utara, Karangetang di Sulawesi Utara. “Seperti juga yang terjadi pada Anak Krakatau,” Agus menambahkan.
Mirip dengan Merapi, erupsi Krakatau juga bersifat eksplosif alias meletus. “Tapi, Krakatau intensitasnya lebih rendah,” tambah dia.
Sementara, kaitan gempa dengan letusan gunung berapi dijelaskan geolog LIPI, Dr Danny Hilman. Kata dia, gelombang gempa bisa menaikkan magma gunung. Namun, itupun tergantung tingkat kematangan magma.
“ Kalau magma gunung itu kosong mau digoyang gempa ratusan kali juga dia tidak aktif. Tapi karena kebetulan dia sudah matang, kantung magmanya sudah penuh, ditembak sama gempa. Ya dia bisa keluar,” kata Danny kepada VIVAnews.
Rentannya nusantara
Bumi Indonesia sejatinya rentan. Letaknya taknya berpijak di fondasi tak kokoh –di antara Lempeng Eurasia, Australia, India, Lempeng Sunda dan Lempeng Pasifik saling menumbuk.
Nusantara rawan bencana letusan gunung berapi dan gempa, serta tsunami. Gempa kolosal terjadi pada 2004 lalu, pecahnya megathrust Sunda telah memicu gempa di Aceh dengan kekuatan 9,1 skala Richter, disusul tsunami menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara.
Indonesia juga rumah bagi lebih dari 130 gunung berapi aktif. Kelud dan Merapi adalah teraktif. Sejumlah letusan gunung api kolosal pernah terjadi di nusantara. Pada 1883 saat Krakatau meletus, energinya 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Suaranya menggelegar, terdengar seperdelapan penduduk Bumi, sampai ke pulau-pulau kecil di Laut Afrika Timur.
Guncangannya memicu tsunami di wilayah perairan Selat Sunda. Lebih dari 36.000 jiwa tewas saat itu. ??Sementara, Tambora yang meletus pada 1815 adalah terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Panasnya menyembur melubangi atmosfer, dan mengubah iklim dunia. Tak ada musim panas pada 1816 di Eropa dan Amerika Utara -- 'the year without summer'. Tambora turun ke dalam tanah beberapa ribu kaki, meninggalkan kawah besar di puncaknya.
Dan, jangan lupakan letusan dahsyat Gunung Toba di Sumatera, 74.000 ribu tahun silam. Letusan itu menyemburkan debu sekitar 800 kilometer kubik abu ke atmosfer. Dunia gelap saat itu – diduga kuat sebagian mahluk hidup mati karena tak mendapat sinar matahari.
Abu letusannya menyebar di di India, Samudera Hindia, Teluk Bengala, dan Laut Cina Selatan bahkan terjebak di lapisan es Greenland, Kutub Utara. Letusan itu meninggalkan kawah sepanjang 100 kilometer, dan lebar 35 kilometer.
Kita mengenalnya sebagai Danau Toba, danau vulkanik terbesar di dunia.
No comments:
Post a Comment