Amarah merupakan sifat wajar dan alamiah yang dimiliki oleh setiap orang tapi alangkah jauh lebih baik jika kita mampu mengendalikan rasa amarah kita di situasi yang tepat. Mampu menguasai emosi, seringkali orang menganggap remeh pada masalah ini. Padahal, kecerdasan otak saja tidak cukup menghantarkan seseorang mencapai kesuksesan.
Di tahun 1990, Kecerdasan Emosi (yang juga dikenal dengan sebutan “EQ”), dikenalkan melalui pasar dunia. Dinyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengatasi dan menggunakan emosi secara tepat dalam setiap bentuk interaksi lebih dibutuhkan daripada kecerdasan otak (IQ) seseorang. Sekarang, mari kita lihat, bagaimana emosi bisa mengubah segala keterbatasan menjadi hal yang luar biasa?
Seorang miliuner kaya di Amerika Serikat, Donald Trump, adalah contoh apik dalam hal ini. Di tahun 1980 hingga 1990, Trump dikenal sebagai pengusaha real estate yang cukup sukses, dengan kekayaan pribadi yang diperkirakan sebesar satu miliar US dollar. Dua buku berhasil ditulis pada puncak karirnya, yaitu “The Art of The Deal dan Surviving at the Top”. Namun jalan yang dilalui Trump tidak selalu mulus…
Anda tahu depresi yang melanda dunia di akhir tahun 1990? Pada saat itu harga saham properti pun ikut anjlok dengan drastis. Hingga dalam waktu semalam, kehidupan Trump menjadi sangat berkebalikan. Trump yang sangat tergantung pada bisnis propertinya ini harus menanggung hutang sebesar 900 juta US Dollar! Bahkan Bank Dunia sudah memprediksi kebangkrutannya. Beberapa temannya yang mengalami nasib serupa berpikir bahwa inilah akhir kehidupan mereka, hingga benar-benar mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Di sini kecerdasan emosi Trump benar-benar diuji. Bagaimana tidak, ketika ia mengharap simpati dari mantan istrinya, ia justru diminta memberikan semua harta yang tersisa sebagai ganti rugi perceraian mereka. Orang-orang yang dianggap sebagai teman dekatnya pun pergi meninggalkannya begitu saja. Alasan yang sangat mendukung bagi Trump untuk putus asa dan menyerah pada hidup. Namun itu tidak dilakukannya. Trump justru memandang bahwa ini kesempatan untuk bekerja dan mengubah keadaan. Meski secara finansial ia telah kehilangan segalanya, namun ada “intangible asset” yang tetap dimilikinya.
Ya, Trump memiliki pengalaman dan pemahaman bisnis yang kuat, yang jauh lebih berharga dari semua hartanya yang pernah ada! Apa yang terjadi selanjutnya? Fantastis, enam bulan kemudian Trump sudah berhasil membuat kesepakatan terbesar dalam sejarah bisnisnya. Tiga tahun berikutnya, Trump mampu mendapat keuntungan sebesar US$3 Milliar. Ia pun berhasil menulis kembali buku terbarunya yang diberi judul “The Art of The Comeback”.
Dalam bukunya ini Trump bercerita bagaimana kebangkrutan yang menimpanya justru menjadikannya lebih bijaksana, kuat dan fokus daripada sebelumnya. Bahkan ia berpikir, jika saja musibah itu tidak terjadi, maka ia tidak akan pernah tahu teman sejatinya dan tidak akan menjadikannya lebih kaya dari yang sebelumnya. Luar biasa bukan.
Kecerdasan Emosi memberikan seseorang keteguhan untuk bangkit dari kegagalan, juga mendatangkan kekuatan pada seseorang untuk berani menghadapi ketakutan. Tidak sama halnya seperti kecerdasan otak atau IQ, kecerdasan emosi hadir pada setiap orang & bisa dikembangkan.
Berikut beberapa tips bagaimana cara mengasah kecerdasan emosi:
- Selalu hidup dengan keberanian. Latihan dan berani mencoba hal-hal baru akan memberikan beragam pengalaman dan membuka pikiran dengan berbagai kemungkinan lain dalam hidup.
- Selalu bertanggung jawab dalam segala hal. Ini akan menjadi jalan untuk bisa mendapatkan kepercayaan orang lain dan mengendalikan kita untuk tidak mudah menyerah. “being accountable is being dependable”
- Berani keluar dari zona nyaman. Mencoba keluar dari zona nyaman akan membuat kita bisa mengeksplorasi banyak hal.
- Mengenali rasa takut dan mencoba untuk menghadapinya. Melakukan hal ini akan membangun rasa percaya diri dan dapat menjadi jaminan bahwa segala sesuatu pasti ada
solusinya. - Bersikap rendah hati. Mau mengakui kesalahan dalam hidup justru dapat meningkatkan harga diri kita.
No comments:
Post a Comment